SAMBUNGAN DARI..
"Lain lubuk, lain ikannya". Mungkin ungkapan inilah yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara nasib Chad dan nasib Midun, kecuali fakta bahwa mereka berdua bukan ikan. Belum lagi hilang rasa shock dalam hati kami, Midun dapat giliran diseret oleh Si Gendut setelah ditunjuk oleh seorang gadis cantik berpakaian ala pegawai kantoran. Bedanya, kalau Chad diseret keluar langsung dibawa pergi oleh Si Ibu bejilbab, Si Midun justru di seret ke ruangan lain dalam rumah. Samar-samar kami masih bisa melihat dan mendengar suarannya melalui sela-sela dinding papan yang tak rapat. Tapi tetap saja kami tidak leluasa lagi bercanda dengannya.
Si Hitam yang sepertinya tahu banyak soal istilah-istilah khusus mengatakan kalau Si Midun kena diisolasi, tapi yang membuat kami bertanya-tanya adalah kenapa dia diisolasi sementara Si Midun tidak masuk kriteria anak nakal. Dia hanya berdiri di pojokan jika kami mulai berulah. Dia bahkan tidak pernah ikut-ikatan mengerubuti Si Gendut jika kami mengerjainya. Dia anak yang pendiam dan sabar. Apakah karena dia bau? Tapi Chad jelas lebih bau karena Si Midun tidak suka berlarian kesana-kemari. Atau karena Si Gadis Kantoran hanya memberi Si Gendut sedikit uang? Kalau jumlahnya memang jelas lebih sedikit, hanya beberapa lembar saja tidak seperti jumlah uang yang disodorkan oleh Si Ibu Berjilbab yang seikat. Tapi kenapa harus Si Midun yang dihukum? Kenapa bukan Si Gadis kantoran? Pertanyaan itu terus membebani pikiran kami, tanpa satupun dari kami yang tahu apa jawabannya.
Selagi kami sibuk berpikir, orang asing semakin sering datang menjenguk. Semakin sering mereka datang semakin banyak pula yang kena seret. Motifnya selalu sama, orang asing datang melihat, menunjuk , mengatakan sesuatu kepada Si Gendut, menyerahkan uang dan setelah itu salah satu dari kami langsung diseret. Hanya saja ada yang diseret keluar rumah dan adapula yang diseret ke ruang isolasi.
Semakin hari jumlah kami yang tersisa semakin sedikit. Kami yakin, hanya masalah waktu hingga Si Gendut datang meyeret kami. Kami bahkan tidak tahu kenapa kami diseret. Kenapa kami dipisahkan dengan teman-teman kami? Yang bisa kami lakukan hanyalah berusaha menikmati sisa waktu kebersamaan kami hingaa giliran kami tiba. Syukurnya, Si Gendut tetap memperlakukan kami dengan baik. Meskipun kami jengkel karena telah menyeret teman-teman kami tapi kami masih berterima kasih kepadanya karena telah dirawat dengan baik.
Suatu sore di penghujung Oktober..
Dua orang lelaki asing datang bertandang. Keduanya menggunakan kemeja lengan pendek. Yang satu memiliki badan tegap, kulit putih dengan kemeja kotak-kotak melekat di badannya. Yang satu lagi agak pendek, perutnya bunci mengenakan baju kemeja hitam lengan pendek. Mereka berdua terlibat percakapan tidak jelas dengan Si Gendut.
Kami tahu bahwa salah satu dari kami bakalan diseret menjauh, entah diisolasi atau langsung dibawa pergi tergantung seberapa banyak uang yang diberikan oleh orang yang menunjuk kami. Kalau banyak berarti kami di bawa pergi, kalau sedikit berarti kami akan diisolasi! Kami menyadari ini setelah tujuh teman kami kena seret. Selain menyadari hubungan antara jumlah uang dan nasib kami, kami juga mulai terbiasa dengan perlakuan Si Gendut yang menyeret teman-teman kami. Kami sudah tidak panikan lagi, dan yang diseretpun tidak mau repot-repot meronta. Kami sudah pasrah!
It's Me..
Ya, kali ini giliranku. Aku diseret (Diajak tepatnya, karena aku tidak melawan. Percuma..!) ke ruang isolasi. Teman-temanku hanya diam saja, dan aku juga tidak berharap mereka akan membelaku. Lebih baik mereka menyalurkan energi mereka ke hal-hal yang positif. Toh aku bukannya mau dibunuh.
Ruang isolasi..
Aku terpana..! Untuk beberapa saat aku hanya berdiri mematung dan tidak bisa berkata apa-apa. Apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri sungguh sulit untuk dipercaya. Keadaan teman-tamanku sungguh sangat memprihatinkan. Tubuh mereka kurus kering, perut mereka kempes sampai-sampai tulang rusuk mereka terlihat jelas. Sepintas terlihat seperti rak piring berjalan.
Bukan hanya itu saja, tubuh mereka penuh dengan luka lecet dan memar, tidak ada keceriaan di wajah mereka, tidak ada keakraban atau kehangatan! Yang tersisa hanya wajah lesu dan beringas, seolah mereka semua telah bermusuhan satu sama lain sejak lahir. Ketika kutanya tentang penyebab semua itu, Midun hanya menjawab, "Kamu akan tau sendiri nantinya..!".
Keesokan harinya..
Si Gendut datang membawa makanan buat kami. Jumlahnya tidak seberapa. Jika saya bandingkan dengan jumlah penghuni ruang isolasi, makanan itu hanya sekitar 1/3 dari porsi normal. Makanan itu dilemparkannya ke lantai begitu saja dan semua berebutan memakannya. Mereka semua saling senggol, saling tabrak demi untuk mendapatkan sedikit jatah makan. Tidak ada istilah bergantian atau mengantri, yang ada hanya usaha mati-matian untuk sekedar mengganjal perut yang keroncongan. Midun dan Si Hitam bahkan sempat terlibat perkelahian gara-gara memperebutkan makanan yang jatuh di lantai. Yang lain..? Tak satupunpun yang berusaha melerai, bahkan saya tidak yakin kalau ada satu di antara mereka yang sudi menoleh melihat perkelahian itu. Semua sibuk berusaha untuk mendapatkan bagiannya. "Berhenti..! Sudah..!", teriakku. Si Hitam menoleh ke arahku dengan tatapan tidak senang, seolah apa yang saya minta adalah suatu hal yang menjijikkan. Dengan langkah lemah dia beranjak ke sudut ruangan, lalu meringkuk di sana sementara Si Midun langsung menghabiskan makanan yang jadi bahan rebutan yang memang tidak seberapa. Dia bahkan tidak peduli dengan lecet di kepalanya yang mengeluarkan darah atau kenyataan bahwa makanan tadi telah terinjak. Masih ada bekas telapak kaki di sana.
Aku hanya diam terpaku melihat kelakuan teman-temanku. Seandainya saya bisa memilih, lebih baik jika saya tidak bertemu lagi dengan mereka daripada saya harus melihat mereka berkelahi demi segenggam makanan kotor dari lantai. Aku ingin berpaling dari itu semua tapi ruangan ini terlalu sempit sehingga aku bisa melihat semua sudutnya. Yang bisa kulakukan hanya diam, dan memberi contoh kepada teman-temanku. Agar mereka mengerti bahwa mengikuti kata hati lebih baik daripada memenuhi keinginan perut. Aku tak akan menyakiti temanku hanya karena sepotong makanan..! Itu janjiku..!
Hari telah berganti malam namun Si Gendut tidak muncul juga. Dia tidak datang membawa makanan lagi. Tidak siang hari, tidak juga sore harinya. Perutku mulai berbunyi tak karuan. Rasanya sakit melilit. Belum pernah aku melewatkan satu kalipun waktu makan, namun kali ini aku justru sudah melewatkan dua kali waktu makan dalam sehari. Berat memang, tapi aku tidak akan melanggar janjiku. Itu pasti..!
5 hari kemudian..
Aku berdiri berhadapan dengan Si Midun. Hembusan nafas berhawa panas keluar melalui hidungku mungkin karena hati yang juga panas. Keberuntungan masih ada di pihak Si Midun, namun kau yakin aku bisa membalik keadaan. Potongan makananku ada di bawah kakinya. Dasar anak sialan, makanankupun ingin direbutnya.
Dengan sekuat tenaga aku berlari dan menabrak tubuh Si Midun. Dia berusah menunduk dan berusaha memperkuat tumpuan kakinya. Namun usahanya itu sia-sia karena saya mengambil ancang-ancang cukup jauh. Dia terlempar tersungkur di sudut ruangan. Darah kembali mengucur dari bekas luka yang ditinggalkan Si Hitam si kepalanya, saya memang sengaja mengincar itu. Usahaku berhasil, setidaknya Si Midun akan berpikir dua kali sebelum berebut makanan denganku. Well.., mungkin tidak selamanya. Jika lukanya telah kering, Si Midun pasti akan berani menantangku lagi. Tapi aku tidak akan membiarkannya begitu saja.
November Rain..
Roda waktu terus berputar, bulan novemberpun tiba. Hujan deras dan rintik-rintik silih berganti menhiasi bumi. Bau tanah tidak tercium lagi atau syaraf kami sudah tidak merespon itu lagi. Entah berapa kali sudah aku terlibat perkelahian dengan temanku sendiri. Meskipun aku selalu menang namun bukan berarti makanku cukup. Sejak awal makanan yang diberikan memang tidak pernah cukup. Hilang sudah citra tubuh padat berisi yang kumiliki. Kini aku tidak jauh berbeda dari mereka. Badanku kurus, perut kempes, tulang rusuk membayang jelas, badan kumal penuh luka. Aku tak peduli dan tidak ada satupun yang peduli.
Entah apa lagi alasannya, tiba-tiba saja satu persatu dari kami ditarik keluar dari ruang isolasi. Kami dibawa pergi dengan menggunakan mobil Si Gendut. Kali ini bukan Si Gendut yang membawa mobilnya sendiri, melainkan dibantu oleh dua orang yang sepertinya dia sewa khusus untuk membawa kami pergi. Belakangan kami tahu kalau mobil ini adalah mobil Pick-Up, bagian belakangnya terbuka dan tidak memiliki atap. Kata Si Hitam mobil ini didesain khusus untuk mengangkut barang. Tapi kami khan bukan barang..?
Gilirankupun tiba. Aku dianaikkan ke bak belakang padahal saat itu sedang hujan deras. Aku kemudian diikatnya dengan tali agar aku tidak kabur. "Dingin, goblok..!" teriakku, namun mereka tidak peduli. Mereka langsung naik di depan secepat kilat takut kedinginan terkena air hujan. Sungguh egois mereka..! Mereka memacu mobil dengan kencang, mungkin mereka diwanti-wanti oleh Si Gendut untuk bergegas. Lubang dan gundukan di tengah jalanpun dihajarnya. Aku sempat tersungkur beberapa kali di belakang. "Settaaannnn...!"..
Akhirnya aku sampai di tempat tujuanku, sebuah kantor yang dijaga oleh beberapa orang satpam. Perjalanan yang panjang, hujan yang deras dan laju mobil yang seperti kesetanan membuatku menggigil. ditambah lagi perut yang keroncongan. Hampir 3 minggu lamanya aku dibuat kelaparan oleh Si Gendut kurang ajar itu. Hanya diberi makan sekali dalam setiap harinya itupun hanya 1/3 dari porsi normalku. Itu berarti saya kekurangan 8/9 porsi makan setiap harinya. Seolah tidak cukup menderita diriku ini, orang suruhan Si Gendut menarik paksa diriku agar mau turun dari bak belakang. Sial bagiku, badan yang menggigil dan posisi tubuh yang tidak siap membuatku tersungkur di tanah. Lebih sialnya lagi orang suruhan Si Gendut tidak peduli dengan itu, dia terus saja menarikku kemudian mengikatku di tiang.
Ternya Si Buncit berpakaian hitam yang datang di hari dimana saya diisolasi memperhatikan dari jauh. Dia terlihat kecewa melihat diriku. Dia bertolak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang suruhan Si Gendut pun diabaiakannya, seolah mereka berdua tidak ada harganya jika dibandingkan denganku. Dia hanya mengangguk tanpa ekspresi ketika mereka berpamitan kepadanya. Dia lalu mendekatiku, diambilnya beberapa ikat daun dan batang lamtoro segar lalau disodorkannya ke arahku. Awalnya aku ragu, namun rasa lapar yang menderaku mengalahkan segalanya. Aku menikmati daun lamtoro segar itu dengan lahapnya. Siapa sangka, daun lamtoro segar itu adalah makanan terakhirku..
Namaku Brad. Meskipun namaku kebarat-baratan, namun aku asli Indonesia. Aku lahir dan dibesarkan di daerah Muara Badak Kalimantan Timur. Seumur hidupku penuh dengan kebahagiaan. Satu-satunya hal yang menyiksa batinku adalah kenyataan bahwa aku telah diabaikan, tak terurus dan kelaparan selama 3 minggu hingga akhirnya aku menghembuskan nafas terkhirku pada hari minggu, tanggal 06 november 2011 pukul 10.12 sebagai KAMBING QURBAN.
I Hate Si Gendut..!
THE END..
i hate u too
BalasHapus@Cenceng: Terima kasih..
BalasHapus