Rencananya, "pace" (istilah gaul di kalangan anak muda di Makassar untuk bapak) yang lagi jenguk cucunya di Sangatta, Kutai Timur mau balik ke Makassar pada hari Minggu 25 september 2011 via bandara Sepinggan. Biar tidak terlalu lelah dalam perjalanan pace memutuskan untuk datang lebih cepat. "Sekalian jalan-jalan" katanya.
So..
Sabtu, 24 september 2011 dini hari, pukul 05.25 pace datang dari Sangatta naik mobil Kijang Inova yang alhamdulillah masih sewaan. "Alhamdulillah, ya..?!". Bukannya istirahat, pace malah ngajakin jalan cari oleh-oleh. Bilangnya sih mau cari sarung Samarinda. Pace kebetulan punya satu, beli di Mesjid Al-Markas Al Islami di Makassar. Sepertinya pace suka betul dengan sarung itu. "Sarung itu saya pakai buat ke mesjid khusus pada hari raya atau ke pesta" bilangnya. Untuk jaman modern seperti sekarang, rasanya agak janggal mendengar ada orang yang ke pesta menggunakan sarung. Anyway, by the way, busway... begitulah adanya. Maka jadilah kami pergi hunting sarung di sabtu pagi. Dan kalau mau cari oleh-oleh di Balikpapan, di mana lagi kalau bukan harum manis! Eh.. Kebun Sayur maksudnya!
Singkat kata..
Sampailah kami di salah satu keajaiban di Balikpapan. Pasar Impres Kebun Sayur! Ajaib karena meskipun namanya Kebun Sayur, yang dijual di sana bukan sayur. Tapi berbagai jenis pernak-pernik khas Kalimantan. Setelah parkir motor kami langsung memulai perburuan!
Penjual sepatu dilewati begitu saja, melirikpun tidak! Begitu juga dengan penjual barang-barang kerajinan. Bahkan ajakan untuk sekedar mampir melihat-lihat batu mulia pun ditepisnya. padahal saya tahu betul kalau pace juga mengoleksi batu mulia. Pace tidak berubah, konsistennya parah! Fokus pada tujuan, kalau sudah tercapai baru bisa nyasar target lain.
Akhirnya, kami sampai juga di bagian barang tekstil dan perhiasan-perhiasan. Pace mulai larak-lirik! Sekali-sekali singgah sekedar memperhatikan motif sarung yang dipajang atau merasakan teksturnya. Kalau saja saya bawa kamera pasti orang-orang di sekitar pada menyangka kalau itu adalah acara "jalan-jalan" seperti yang sering muncul di TV. Gaya pace sangat profesional. Tapi hal seperti itu tidak mengherankan, karena dulu pace pernah ikut dagang tekstil di pasar. :D
Sekali waktu, ada sarung yang menarik perhatiannya. Pace pun singgah untuk mengamati sarung tersebut sementara saya berdiri agak jauh. "Boleh bu..?" tanyanya sambil memberi isyarat bahwa dia berniat merasakan tekstur sarung tersebut. "Silahkan.., silahkan..!" kata si empunya ramah. "Sarungnya wangi jeruk Pak..!" lanjutnya. Ibu pemilik toko kemudian mengucek-ucek sarung tersebut pada bagian ujungnya kemudian menciumya. Dia kemudian memberi isyarat agar pace melakukan hal yang sama. Pace pun melakukannya, meskipun saya tahu kalau dia hanya setengah hati. Sepertinya kami memiliki pemikiran yang sama bahwa sewangi apapun itu tidaklah berpengaruh pada nilai sebuah sarung. Sarung hanya dinilai dari motif, bahan dan tingkat kehalusan pengerjaannya. Kalau soal bau harum mah gampang! Tinggal diberi parfum atau pewangi, selesai! Dan perlu diketahui bahwa sebaik apapun parfumnya, sahebat apapun proses pengerjaannya, seberapa banyakpun takarannya, wangi itu akan hilang. Apalagi jika sarungnya sudah dicuci, tidak ada cerita!
Setelah melakukan "demo produk", Ibu pemilik toko terlihat lebih percaya diri. Dia melangkah ke tahap selanjutnya. Mengajukan harga! Rasa percaya dirinya yang tadi sempat melambung, nge-drop seketika melihat ekspresi wajah pace yang terlihat "datar"! Merasa tawarannya terlalu berlebihan diapun mengajukan penawaran baru yang sedikit lebih rendah. Ekspresi wajah pace tetap sama, tidak berubah. Turun lagi! Pace memiringkan kepalanya sedikit. Turun lagi! Pace tersenyum tapi kelihatan terpaksa. Turun lagi, lagi dan lagi tapi tetap tak ada tanda-tanda kalau pace akan menerima penawaran harga dari sang pemilik toko. Akhirnya sang pemilik toko menyerah! Dia melangkah mudur, memberi jalan kepada pace. Ekspresi wajahnya seperti seorang komandan pasukan yang kalah perang dan kehilangan semua anak buahnya. Saya hanya tersenyum melihatnya.
Pace berjalan ke arahku dengan santai. Ekspresi wajahnya tidak berubah sama sekali. Beliau memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan mencari sarung. Saya sedikit khawatir, takut kejadian 3 HARI MENCARI GAUN terulang lagi! Sekitar 3 petak dari toko tadi, pace berbisik. "Dia ngasih harga sama dengan harga yang dulu..". What..? Saya shock..!
Biar para pembaca tidak bertanya-tanya, akan saya jelaskan! Setidaknya ada beberapa hal penting yang membuat saya shock, yaitu:
- Kata "dulu" berarti sekitar akhir tahun 90an!
Merujuk pada waktu pemberlian sarung samarinda yang beliau miliki. Waktu itu saya masih sekolah di STM Pembangunan Makassar yang berdekatan dengan Al-Markaz Al Islami. Kok bisa, dapat harga sekarang sama dengan harga belasan tahun lalu? - Pace belinya di Makassar!
Normalnya, rantai penjualan sarung Samarindah adalah: Produsen > penyalur di Samarinda > penyalur di Makassar > pengecer di Al-Markaz Al Islami. Kalau di Balikpapan: Produsen > penyalur di Samarinda > penyalur di Balikpapan > pengecer di Kebun Sayur. Jika rantai penjualannya sama panjang seharusnya harga sama, pada waktu yang sama! Bukan belasan tahun silam! - Harga segitu didapat tanpa satu katapun!
Kalau saya yang nawar, mulut udah berbusa belum tentu bisa turun 2x. Ini turunnya berkali-kali. - Tidak ada perubahan ekspresi!
Padahal pace juga kaget dengan harga yang ditawarkan. Truely Poker Face..! - Tega-teganya dia tidak ambil tuch sarung!
Posted by Tokebo' yang bapaknya sadis kalau nawar..!
Powered by Telkomsel BlackBerry®
cerita ini ngegemessin bangeet sih....jadi pengen nyubit pipinya tuch Pace...
BalasHapusJiahh..
BalasHapusJangang kasiang..! Toami ntu kaue..!
sepertix sy pernah ketemu dgn yg namax pace, tp sy nda sempat kenalan...BTW salam ku nah!
BalasHapusG heran..
BalasHapusDi Makassar ada banyak behamburan..
:P
banyak emank,tp yg sy maksud pace yg ada dlm story 3 jam mencari sarung ;P
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDia kan sering ke Jl. Sunu..
BalasHapusmakax....serasa familiar...
BalasHapus